06/08/13

Bukan Salah Hujan



Banyak yang membenci hujan. Kata mereka, kalau hujan, mereka gak bisa kemana-mana, cuaca  jadi dingin, bikin malas beraktifitas. Dan alasan-alasan konyol lainnya. Menurutku, hujan itu indah. Hujan  itu  mengasyikkan. Aku bisa mendapat banayk inspirasi menulis  jika hujan datang. Aku suka hujan. Tapi, itu dulu tepatnya 1 tahun yang lalu.
            Aku masih ingat alasanku membenci hujan. Tepat ketika hari ulang  tahunku. Saat itu, Mama berjanji akan menjemputku dari sekolah, dan makan siang bersama di restauran favoritku, hari itu juga hari pengumuman lomba menulis cerpen yang aku ikuti. Tanpa disangka, hujan datang. Sangat deras. Aku menunggu Mama di lobby sekolah, aku mendadak gelisah. Sudah hampir 1 jam aku menunggu, tapi wajah Mama tak kunjung  terlihat. Aku berusaha tenang, tapi pikiranku melayang. Aku takut kalau-kalau  sesuatu buruk terjadi pada Mama.
            “Selamat siang, apa benar ini dengan saudari Nikita?” tiba-tiba handphoneku berdering, terdengar suara wanita di sebrang sana
            “Iya, saya sendiri. Maaf dengan siapa ya?” Tanyaku gugup
            “Saya dari Rumah Sakit Harapan. Baru saja, Ibu anda mengalami kecelakaan. Beliau tergelincir saat mengendarai motor, lalu terjatuh. Kepalanya cidera.”
            Aku tercengang dan terdiam. Dadaku sesak.
            “Mama……” Suaraku lirih.
            Rumah sakit tersebut memintaku untuk segera mendatangi rumah sakit itu. Tanpa pikir panjang, aku berlari menerobos hujan, mencari taksi untuk kutumpangi, dan berdoa untuk mama.
            Setelah sampai dirumah sakit dan menemukan ruang UGD, aku masih terus berdoa untuk mama. Tidak lama kemudian, dokter keluar dan memberitahu bahwa mama telah tiada. Aku merasa tubuhku menjadi ringan. Penglihatanku buram. Mataku memanas. Aku menangis, kemudian pingsan. Aku membenci hujan saat itu juga.
            Entah bagaimana, saat aku tersadar aku sudah di rumah, disampingku ada tante Tira yang tersenyum lembut, tapi matanya sembab. Aku bangkit.
            “Mama mana te? Mama baik-baik aja kan?”
            “Niki, kamu yang sabar ya, sayang. Kamu harus kuat. Bentar lagi Mama kamu mau dimakamkan.” Tante Tira berusaha tegar
            “Engga tante! Mama janji mau makan siang sama aku, ngerayain ulang tahun aku. mama juga janji mau beliin laptop baru kalo aku berhasil menangin lomba menulis cerpen. Gak mungkin mama ingkar janji!”
            Tante Tira memelukku, aku menangis dalam  pelukannya.
            Aku memeluk mama untuk yang terakhir kali. Aku cium pipinya, tubuhnya terasa kaku dan dingin. Belum pernah aku  merasakan dingin seperti itu. Aku mencoba ikhlas, namun tidak semudah itu.
            Aku ikut mengantarkan mama ke tempat peristirahatan terakhirnya. Selamat jalan, Mama, semoga mama tenang di sana, aku pasti akan rindu Mama.
            Sejak saat itu aku benci sekali dengan hujan. Aku juga jadi benci menulis, padahal ternyata aku memenangkan lomba menulis tersebut. Tapi aku tidak peduli. Aku benci hujan!
            Kemarin, guru bahasaku memintaku untuk mengikuti lomba menulis cerpen, beliau tahu bahwa aku suka menulis cerpen dan sering memenangkan lomba. Langsung saja kutolak. Aku sudah tidak mau lagi berhubungan dengan dunia itu.
            “Ayolah Niki, Ibu tahu bakat kamu dibidang menulis. Kalo kamu menang dilomba ini, kamu mendapat sertifikat dan bisa masuk di SMA manapun yang kamu mau.” Bu Reza, guru bahasaku, membujukku.
            Beliau sudah sangat sering membujukku. Aku jadi tidak tega menolakknya lagi. Kali ini aku mengiyakan permintaannya.
            Lomba itu diadakan seminggu lagi. Tema lomba itu adalah kehidupan di sekitar kita. Aku bingung ingin menulis apa.
            Setelah aku mengiyakan permintaan bu Reza, aku bergegas pulang. Aku pulang sendiri saat itu, aku menumpang angkot yang berada di depan sekolah. Saat sudah sampai di depan komplek rumahku, tiba-tiba turun hujan. Aku jadi ingat Mama.
            Saat angkot berhenti, dan aku ingin turun, tiba-tiba ada adik kecil berdiri di depan pintu angkot sambil membawa payung besar. Tubuhnya basah kuyup.
“Ojek payung kak?” tanyanya.
Entah mengapa aku mengiyakan pertanyaannya, padahal saat itu aku membawa payung di dalam tas sekolahku. Aku melihat senyumnya mengembang dan matanya berbinar.
            “Kamu gak sekolah?” aku memberanikan diri bertanya
            “Udah pulang kak” jawabnya ringan.
            “Oh, kelas berapa?” tanyaku lagi.
            “Kelas 4 kak.” Jawabnya sambil menyeka air hujan yang melewati matanya. Dia lalu menatapku.
            “Kok ngojek payung? Emang gak diomelin?”
            “Sebenernya gak boleh sama Bapak. Takut kesambar petir kaya Ibu. Tapi kalo gak ngojek payung, kasihan Bapak gak ada yang bantu cari uang,” jawabnya polos.
            “Ibu kesambar petir?” tanyaku mengulang
            “Iya, sekarang Ibu udah gak ada kak,” aku lihat, matanya berkaca-kaca. Ia lalu menunduk untuk beberapa saat. Aku jadi ingat mama. Aku dan anak itu sama-sama kehilangan orang yang disayang saat hujan turun.
            “Kalo hujan, aku jadi inget sama ibu kak. Jadi pengen nangis. Tapi kata Ibu, anak laki-laki gak boleh nagis.” Dia melanjutkan, senyumnya mengembang.
            “Kamu benar..” aku memegang pundaknya yang sudah basah oleh air hujan itu.
            “Ibu juga bilang, kita gak boleh nyalahin takdir. Makanya, waktu Ibu meninggal aku gak sedih lama-lama. Allah udah kangen sama Ibu.” Kata-kata itu bagai tamparan untukku. Aku sadar, bahwa kepergian Mama bukan karena hujan. Tapi karena takdir dari Sang Khalik.
            Tidak terasa sudah sampai di depan rumahku. Aku memberikan ongkos ojek payung kepadanya. Dia tersenyum dan mengucapkan terimakasih, lalu berlalu. Aku masih diam di teras rumah. Menatap hujan yang semakin deras. Aku jadi bersemangat untuk mengikuti lomba menulis cerpen itu. Aku tau apa yang akan kuceritakan nanti. Anak kecil si pengojek payung. Sepertinya ide yang pas. Ku tatap lagi hujan itu. Hujan memang selalu memberikan inspirasi untukku. Hujan, maafkan aku karena pernah membencimu.

*** 

Aku mau cerita sedikit tentang cerpen ini. Jadi, aku nulis cerpen ini untuk dimuat di Majalah sekolahku, Majalah Ekspresi 9. Aku nangis pas nulis bagian  Aku memeluk mama untuk yang terakhir kali. Aku cium pipinya, tubuhnya terasa kaku dan dingin. Belum pernah aku  merasakan dingin seperti itu. Aku mencoba ikhlas, namun tidak semudah itu. Aku langsung inget Mama. Naudzubillahimindzalik Ya Allah... Tapi beneran aku nangis. Perasaan langsung ga enak gitu. Besoknya pas di sekolah aku juga nangis. Malu banget nangis di sekolah >_< tapi gak bisa ditahan. Aku langsung kepikiran hal yang jelek-jelek. Ya Allah, jangan ambil orang-orang yang aku sayang dulu. Aku masih ingin bersama mereka..
Umur emang gak ada yang tau, teman-teman. So, jaga dan sayangilah orang-orang di sekitarmu, sebelum Allah memanggil mereka kembali kepadaNYA.



Salam,
Dinda :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih untuk komentarnya :)