28/06/15

Patah

Ku sampaikan sapaan hangat dan kau membalas sama hangatnya

Ku tuliskan pengharapan dan kau mengabulkannya

Ku mulai percakapan itu dan kau menemani hingga larut

Ku panjatkan doa dalam sembahyangku dan kau membuatku percaya, kau lakukan itu juga

Namun, sadarlah aku kemudian, kau lakukan itu tidak hanya kepadaku

Tidak ada lagi segala sapaan hangat itu

Patahlah segala pengharapanku

Hilang sudah percakapan panjang itu

Aku menyerah

Mengalahkan segala inginku yang sedari awal sudah salah

Sedari awal aku menginginkanmu; kamu

Aku telah jatuh, dan Tuhan kembali mematahkan hatiku

Bukan, ini bukan salah Tuhan, salahmu, atau keadaan

Ini salahku, yang selalu menjatuhkan diri sejatuh-jatuhnya hingga kebal tulangku terhadap sakit itu

Hingga kering air mataku menahan perih dari luka itu

Hingga hilang akal sehatku dalam melihat dunia

Aku ingin bangkit—sangat ingin

Namun bagaimana caranya? Bagaimana bisa aku melawan hatiku yang telah memilih kamu dan bertahan di sini

Datanglah, sekali ini kumohon, datanglah

Ulurkan tanganmu untukku, bantu aku bangkit

Hapus air mataku

Bantu aku menemukan hidupku kembali

Bantu aku mendapatkan cahaya itu lagi

Aku ingin keluar dari kegelapan ini

Setelah itu, kaubebas pergi

Pergi bersama yang lain

Pergi sejauh manapun yang kauingin

Lupakan segala sapaan yang pernah kita tukar

Percakapan panjang yang pernah kita buat

Harapan yang pernah kuucapkan kepadamu

Damailah dengan hidup barumu

Akan kubangun pula hidup baruku

Dan untuk-Mu Tuhan, jangan Kau jatuhkan aku lagi kepada yang mahir mematahkan

 



Jakarta, 28 Juni 2015 – 3:24

Dinda

24/06/15

Gue Mau


I want to


Please..


**


Pernah pada suatu hari, seseorang mengirimkan foto itu kepada gue. “Gue selalu jadi tempat dia cerita Din. Selalu.” Begitu katanya. “Bagus dong?” jawab gue. “Andai dia seperti itu,” gue melanjutkan. “Dia (cowok itu—red) selalu cerita ke Luna* (sahabatnya—red)”. “Gue mau jadi Luna. Gue mau jadi tempat dia untuk cerita. Cerita apapun, kapanpun.” Jawabku. “Jadi?” tanyanya. “Gue iri sama Luna…”

Salah gak sih iri sama sahabat dari seseorang yang kita sayang? Like seriously, gue mau ada di posisi dia. Gue mau jadi yang pertama yang dia cari saat dia punya masalah. Gue mau jadi yang pertama yang tau kalo dia lagi happy. Gue mau jadi yang pertama menghapus air matanya saat dia lagi nangis. Gue mau jadi yang pertama memberi ucapan selamat ketika dia berhasil mewujudkan mimpinya. Gue mau. Terdengar egois ya? Tapi itu yang gue mau.



**

*nama disamarkan





Jakarta, 10 Juni 2015 – 11:49,

Dinda

06/06/15

Hidup Itu Pilihan


Hidup itu pilihan

Sama seperti saat aku dan kamu memilih untuk bersama di sini

Hidup itu pilihan

Sama seperti saat aku dan kamu memilih untuk berjuang di waktu itu

Hidup itu pilihan

Sama seperti ketika kamu memilih goyah, sedangkan aku (malah) memilih untuk bertambah kuat

Hidup itu pilihan

Sama seperti saat kamu memilih untuk pergi, meninggalkan aku dengan sejuta mimpi kita yang pernah kita rajut bersama



**

Aku masih ingat betul saat pertama aku melihatmu. Hari itu senior kita memanggilmu maju ke depan, mengatakan bahwa kamu cantik sekali dengan rambut bondolmu itu. Aku terpesona, meskipun aku seorang putri. Tapi aku melihat ada hal yang aneh di sorot matamu, terlihat berbeda.

Sampai pada akhirnya kita berada di satu pasukan, pasukan 8, kau ingat? Kita tidak pernah benar-benar mengenal, hanya saling tahu nama. Kau berada di shaf 1 banjar 2, sedangkan aku berada di shaf 2 banjar 3. Kau tahu? Aku dan putri-putri lainnya sangat ingin berada di posisi yang kau tempati. Menjadi pembawa baki pada upacara peringatan hari kemerdekaan, meskipun hanya di sekolah, tapi siapa yang tak ingin? Menjadi putri tercantik sampai-sampai harus memakai bulu mata palsu dan menjadi pusat perhatian dari seluruh peserta upacara pada saat itu.

Aku senang, kamu tetap bertahan sampai sejauh ini. meskipun pada akhirnya kamu sedikit menjauh dan lama-lama sangat jauh dari kami. Entah apa yang terjadi, karena kamu tidak pernah ingin membuka mulut dan menumpahkan segala ceritamu kepada kami.

Hingga tak terasa, sudah hampir satu tahun berlalu dari waktu pertama kali aku melihatmu. Kamu datang –dengan dipaksa, tentu saja—saat kami sedang memperjuangkan tanggung jawab kami. Namun, kamu datang hanya untuk mengutarakan pilihanmu, meninggalkan kami. Hei, apa yang ada di pikiranmu? Kita bersama selama satu tahun ini! kamu menjadi satu-satunya putri yang diberi kepercayaan untuk membawa papan kayu seberat hampir 4 kilogram yang dibalut kain beludru hitam dengan bordiran garuda berwarna emas, untuk meletakan bendera kebanggaan kita, merah putih itu. Semua putri ingin mendapatkan kepercayaan itu, termasuk aku.

Rasanya ingin marah, tapi siapa kami? Kami hanya “mantan” keluarga bagimu. Rasanya ingin menangis, tapi kami sadar, air mata ini sudah kering sejak lama, menangisi hatimu yang tak kunjung melunak untuk kami. Rasanya ingin memaki keluarga barumu, tapi kami sadar, mungkin memang di sana tempatmu, keluarga yang tepat untukmu. Sekali lagi, hidup itu pilihan.

Untuk temanku, teman kami, keluarga kami, percayalah, jauh di dalam hati kami, kami tetap sayang padamu, kami tempatmu kembali, karena kami keluargamu.





Tertanda,

(masih) keluargamu



**

Ditulis dengan berlinang air mata, bukan karena cengeng, tapi karena rasa kecewa yang teramat karena sudah dicampakkan padahal dia selalu diperjuangkan.
COPYRIGHT © 2017 | THEME BY RUMAH ES