26/07/15

Datang dan Pergi


Teringat pada suatu sore yang hangat, seseorang menanyakan suatu hal yang cukup membuatku berpikir. “Kalau orang yang kamu sayang memilih pergi dan tak akan pernah kembali, apa reaksimu?”.

Sejenak kuberpikir dan akhirnya kuputuskan untuk menjawabnya, “Kecewa, tentu saja. Tapi yang pasti aku akan merelakannya. Bukan karena aku tak ingin memperjuangkannya, tapi memang semua hal memiliki masanya sendiri. Kedatangannya adalah takdir, begitupula dengan kepergiannya. Akan datang seseorang lagi yang akan menemani perjalananku,”

Kedatangannya adalah takdir, begitupula dengan kepergiannya.

Terdengar klise, ya?

Akan selalu ada orang yang datang untuk menggantikan ia yang sudah pergi. Dan ketika kamu bertemunya untuk pertama kali, ingatlah bahwa akan ada waktu dimana dia harus pergi dan meninggalkan semua mimpi yang kalian bangun bersama. Dia akan datang dengan berbagai cara. Dia bisa saja datang ketika kamu sudah sangat lelah menghadapi dunia ini sendirian. Dia bisa saja datang ketika kamu merasa kamu adalah manusia paling bahagian di dunia ini. Dia bisa saja datang ketika kamu merasa kamu sudah tidak memiliki bahu untuk disandarkan lagi. Dia bisa datang di waktu yang tepat, dan begitu sebaliknya.

Dan, dia bisa orang yang menurutmu tepat sehingga akan menemanimu sampai garis akhir, bisa juga sebaliknya.

Kepergiannya juga memiliki banyak cara. Dia bisa saja meninggalkanmu ketika kamu dan dia sedang membangun mimpi bersama. Dia bisa saja meninggalkanmu ketika dia sedang menunjukanmu betapa indahnya dunia kepadamu. Atau dia bisa meninggalkanmu ketika kamu dan dia sudah sama-sama tak terpikir lagi untuk terus bersama.

Tapi sekali lagi kukatakan, kedatangan dan kepergiannya adalah takdir.

Bukalah pintu kehidupanmu selebar-lebarnya. Biarkan orang lain mengetuk masuk dan biarkan juga bila ia memilih pamit pergi. Jangan tutup pintu tersebut untuk mencegah orang lain masuk ataupun keluar. Ada seseorang yang ditakdirkan untuk melewati pintu itu.

Namun, jika pertanyaanmu pada sore itu adalah pertanda bahwa kamu akan pergi… jujur saja, aku tak ingin itu terjadi.









Ketika sudah waktunya ia untuk pergi, lepaskanlah. 
Akan ada waktunya sang pengganti datang dan menemanimu sampai garis akhir
---




Jakarta, 26 Juli 2015 – 7:15 PM

Dinda

11/07/15

Tiga Puluh Empat Bulan Lebih Dua Hari yang Lalu


Tiga puluh empat bulan lebih dua hari yang lalu.

Rasanya baru kemarin kamu dan aku tergabung dalam sebuah grup di salah satu aplikasi messenger. We called you as a chieftain. Menghabiskan malam bersama untuk membicarakan banyak hal. Dari tentang idola kita yang sedang manggung, model pakaian idola kita yang terlihat aneh, berdebat tentang makanan apa yang paling enak, pertanyaan basa-basi seperti ‘lagi apa?’, dan banyak obrolan random yang lain.

Sampai pada suatu hari, kamu mengirimkan pesan itu kepadaku. Isinya singkat, hanya tiga kata. “Kamu lagi apa?”, kuketikan jawaban secepat kilat. “Lagi baca buku, Kak,”. Dan berlanjutlah percakapan panjang kita. Dimulai dari tiga kata darimu.

Pagi-pagiku terasa berbeda, ada sapaan pagimu yang menemani.

Siang-siangku terasa berbeda, ada pertanyaan sederhana darimu yang menemani, “Gimana sekolahnya?”.

Malam-malamku terasa berbeda, ada kamu yang menemaniku hingga larut.

Hariku berbeda sejak saat itu. Hariku berbeda sejak kamu mengetuk, dan aku mengizinkan kamu masuk ke kehidupanku. Hariku berbeda karena kamu. Iya, kamu.

Rasanya baru kemarin kamu meminta aku untuk di sini. Menemani perjalanan panjangmu dalam menempuh kehidupan di tempat yang baru. Aku senang, menjadi salah satu orang yang menyaksikan sejarah hidupmu. Jarak rasanya bukan halangan. Aku di sini, dan kamu, ada di puluhan kilometer di sana.



Tiga puluh empat bulan lebih dua hari yang lalu.

Aku masih ingat ketika kamu memintaku untuk mengganti panggilan itu. “Panggil nama aja,” itu katamu. Aku menolak, dengan alasan klise, kamu lebih tua dariku.

Aku juga masih ingat, ketika hari itu tiba. Hari dimana aku sangat menyesal membalas keberanianmu dengan pertanyaan bodoh itu. Aku menyesal. Bahkan setelah hari-hari itu berlalu, dan hati ini tak lagi sama, aku masih menyesal.

Hingga akhirnya kamu memilih mundur dan pamit dari kehidupanku, dan akupun tak memintamu untuk tetap tinggal, aku malah menutup lagi pintu kehidupanku. Percayalah, kamu salah satu orang yang pernah mengisi hari-hariku dan kita pernah tertawa bersama, bagaimana bisa aku menghapus jejakmu dari pikiranku?

Aku sudah move on. Tapi, apa kamu tau? Move on bukan berarti melupakan. Move on berarti menerima atas segala hal yang sudah terjadi.



Tiga puluh epat bulan lebih dua hari yang lalu.

Terima kasih untukmu. Terima kasih karena sudah menemani hari-hariku. Terima kasih karena sudah memberika rasa itu. Terima kasih karena sudah memberikanku pelajaran berharga itu, bahwa hidup tak selamanya tentang apa yang kita dapat, namun juga tentang apa yang kita lepas. Terima kasih untukmu.



Tiga puluh empat bulan lebih dua hari yang lalu
.

Hari dimana aku merasa terbang setinggi langit, dan memandang dunia jadi jauh lebih kecil di bawah sana. Karena kamu.





**



Jakarta, 11 Juli 2015 – 5:33 PM

Dinda

09/07/15

Jauh di sana, ada seseorang yang sedang kutunggu. Kutunggu kehadirannya. Kutunggu suaranya. Kutunggu hatinya.

Menunggu sampai lelah. Menunggu sampai jenuh. Menunggu sampai aku lupa bagaimana rasanya tidak menunggu.

Suatu hari, ada yang bertanya, mengapa aku tak menyampaikan rindu ini dan memulai untuk menemuinya terlebih dahulu. Lalu kujawab, bahwa setiap malam selalu kubisikan pesan rindu ini kepadanya. Kutitipkan pesan rindu ini kepada angin, yang kuharap dapat menerobos celah jendela kamar dan membisikan tepat di telinganya. Setiap malam kubisikan pesan rindu ini dalam doa panjangku. Berharap Tuhan menyampaikan kepadanya, langsung menuju hatinya. Setiap malam kubisikan pesan rindu ini kepada bintang. Berharap sinarnya dapat menangkap dan menyampaikan pesan ini.

Bukan hal yang mudah bagiku untuk mengatakan aku-rindu-kamu kepadanya. Rasa-rasa yang menerjang hatiku sungguh besar. Aku takut. Takut rasa rinduku tak terbalas. Aku takut. Takut dia membuang wajahnya dan mencampakan hatiku. Aku takut. Takut ketika harus menerima kanyataan bahwa aku tak ia rindukan—bahkan tak ia harapkan.
Lalu, harus bagaimana? Harus melakukan apa?

Aku hanya tinggal menunggu bisikan rinduku sampai kepadanya, walaupun aku tahu, meski ia menerima bisikan itu, ia tetap tidak akan melihat kepadaku.





**



Well, gue ngga ngerti kenapa gue ‘produktif’ banget akhir-akhir ini, maksudnya jadi sering nulis gitu. Gue jadi kangen banget nulis. Meskipun tulisan gue dari waktu-ke waktu ngga mengalami peningkatan yang positif sih. Hahah. Tapi gue menikmatinya. Tulisan gue kadang ngga ada korelasinya dengan kehidupan gue. Gue nulis galau kaya tulisan di atas, bukan berarti gue lagi galau di kehidupan nyata. Gue happy. Hidup gue rasanya makin baik aja. Entah itu beneran atau karena gue yang mencoba untuk berpikiran positif sekarang. Gue emang belum melewati masa-masa berada di titik terendah dalam hidup, tapi masalah-masalah-masalah gue yang kemarin-kemarin cukup membuat gue lebih kuat buat menjalani hidup. Deuuh mancay banget kan bahasa gue.



Oh iya, mau ngucapin selamat puasa buat kamu yang dulu sering main ke blog ini. Semoga masih sering main ke sini ya dan membaca ucapanku ini ya!

Selamat puasa juga buat kamu yang akhir-akhir ini nemenin aku sampai aku ketiduran. Makasih buat ucapan selamat-sahur dan selamat-berbukanya!






Jakarta, 6 Juli 2015 – 8:19 PM

Dinda

03/07/15

Cerita Si Agen Rahasia


Nus, semalam dia datang kepadaku. Mengatakan sesuatu hal yang sangat kubenci. Sesuatu yang tak pernah ingin kudengar dari siapapun, terlebih dari mulutnya. Setelah perjalanan panjang yang pernah kita bangun, ia memutuskan mundur. Ia memutuskan pergi. Ia meninggalkanku bersama segala harapan yang pernah kita mimpikan bersama. Ia pergi, Nus.

Aku ingin marah kepadanya. Ingin kutampar pipinya. Ingin kucaci di depan wajahnya. Ingin kuceritakan kembali segala cerita yang pernah kita jalani bersama. Segala duka yang pernah kita bagi bersama. Segala cita yang pernah kita raih bersama. Aku ingin, Nus.

Tapi kemudian, aku tersadar. Aku mungkin bukan yang ia ingin. Aku mungkin bukan yang ia cari selama ini. aku mungkin bukan rumah yang ingin ia tempati. Aku mungkin hanya persinggahan sesaat, sebelum ia berhasil menemukan rumahnya yang sesungguhnya. Aku sadar, Nus.

Akhirnya aku diam, Nus. Aku tak meraung memintanya untuk tetap di sini. Aku tidak juga dengan muak mengusirnya. Aku membiarkannya mengatakan itu. Membiarkan diriku mendengar kalimat perpisahan dari mulutnya. Bukan aku tidak ingin memintanya untuk tetap tinggal, Nus. Aku.. aku hanya sangat lelah memintanya untuk tetap tinggal. Sudah habis rasanya kesabaranku untuk melunakan hatinya yang kini sekeras batu.



**


Teruntuk temanku yang memilih pergi,

Aku harap kamu membaca tulisan ini. Tulisan ini tentang kamu, kamu yang akhirnya menyerah dan memilih pergi. Kamu yang selama ini tidak mau membagi cerita itu kepadaku. Kamu yang selama ini selalu kuperjuangkan. Kamu yang selama ini aku sayang. Kamu yang selama satu tahun terakhir ini menemani perjalananku.

Percayalah, aku tempatmu kembali. Kubuka selalu lenganku untuk kembali memelukmu. Kubuka selalu hatiku untuk kembali kauisi. Kubuka selalu rumah ini untuk kembali kauhuni. Percayalah, kamu akan selalu menjadi bagian dari hidupku.

Dan untuk temanku yang (masih) bertahan,

Percayalah, kita bisa terus menjaga rumah ini. Kita bisa menjadi tim yang tangguh untuk membangun kembali semuanya. Kita keluarga, bukan begitu?

Untuk siapapun yang membaca ini,

Yakinkanlah dirimu sebelum mengambil suatu keputusan. Kalian tidak akan tahu ada berapa hati yang patah ketika kalian memilih untuk keluar dari keputusan yang telah kalian pilih di masa lalu.








Jakarta, 3 Juli 2015 – 8:48 PM

Dinda
COPYRIGHT © 2017 | THEME BY RUMAH ES