Empat belas hari
yang lalu
Hari dimana kau
menginginkanku berjanji
Untuk tetap
tinggal
Meskipun kau
mungkin tak lagi sama
Empat belas hari
yang lalu
Hari dimana kau
jujur kepadaku
Bahwa ada yang
salah di tubuhmu
Dan aku tak akan
mengerti kenapa
Empat belas hari
yang lalu
Hari dimana kau
sendiri yang akhirnya pergi
Pergi dan tak
akan kembali
Hari dimana kau
benar-benar terlihat jauh
Empat belas hari
yang lalu
Hari yang tak
akan pernah aku lupa
**
”Kiy…
kamu tau nggak kenapa bintang itu jauh banget?” cowok manis yang duduk di
sampingku ini bertanya lembut kepadaku, bibirnya menampakkan senyum tipis.
“Hmm?
Mau aku jawab serius atau nggak nih?” tanyaku pada akhirnya.
“Ah,
susah emang punya pacar anak perpus, serius banget!” balasnya sambil mencubit
pelan lenganku.
“Hahaha…
ngambek mulu ah. Aku nggak tau, Nathan, emang kenapa sih?”
“Soalnya
mereka minder sama kamu. Hehehe plis jangan bilang aku garing lagi,” guraunya.
“Hahaha…
kamu tau aja aku mau ngomong apa!” tawaku meledak.
Iya,
aku memang selalu bilang kalau Nathan tuh selalu garing setiap bikin gombalan.
Bukan, bukannya aku nggak menghargai usaha dia itu, tapi aku selalu ingin dia
jadi dirinya sendiri. Dan gombalan-gombalan kayak gitu tuh bukan Nathan banget.
Justru sifat apa adanya dia
yang bikin aku jatuh hati kepadanya. Lihat? Nggak semua cewek ‘butuh’ gombalan,
kan?
“Kiy,”
“Hmm?”
“Kita
bakalan kaya gini terus kan?” tanyanya pelan.
“Kaya
gini gimana?” aku menoleh kepadanya, ia sedang melihat ke depan, tatapannya
kosong.
“Kaya
gini… ada kamu dan aku. Ada kita.” Suaranya pelan, terdengar seperti bisikan.
“Kamu
ngomong apa sih? Jangan ngomong yang aneh-aneh deh,” Aku merasa tak nyaman
dengan pembicaraan ini.
“Kiy…
aku sayang kamu,” suaranya kali ini lebih tegas, namun tetap seperti bisikan
“Nath..”
aku menoleh lagi, memastikan ia tetap di sampingku dan baik-baik saja
“Aku
sakit, Kiy.” Ia menoleh kepadaku. Ekspresinya tenang, tapi aku bisa melihat ada
yang salah di sorot matanya.
Aku..
aku hanya bisa diam. Entah tanggapan apa yang harus aku berikan kepadanya. Aku
hanya menatap jauh ke dalam bola matanya, mencari tau apa yang terjadi kepada
laki-laki di hadapanku ini.
“Aku
juga nggak ngerti aku sakit apa. Dan aku juga nggak mau tahu, karena aku yakin
kalau aku tahu apa sakitku itu, itu cuma bikin aku tambah sakit,”
Aku
bergeming. Nathan terlihat lemah sekali kali ini, baru kali ini. Ia selalu
terlihat gagah di mataku. Ingin rasanya menarik tubuhnya ke dalam dekapanku,
memastikan bahwa ia baik-baik saja, tapi tangan ini terasa berat.
“Yaudah,
pulang yuk. Udah sore nih..” ajaknya akhirnya
Dan
aku hanya mengangguk pelan, kemudian mengekornya menuju parkiran sekolah kami.
**
“Nath,
ada lomba nih bulan depan di Smada. Ikut yuk, biar adek-adek kita ada
pengalaman juga,”
Nathan
menoleh sekilas, lalu kembali menatap lembaran kertas di tangannya, “Bentar ya,
gue lagi baca undangan lomba di SMA Pusaka nih,” jawabnya santai.
Nathan
Pratama. Pemilik wajah teduh dengan lesung pipi di pipi kanannya. Tingginya 178
cm, dengan berat yang ideal. Tubuhnya tegap dan rambut dengan potongan rapih,
khas anak paskib. Dia menjabat sebagai ketua umum Paskibra SMA Permata. Siapa
sangka cowok yang di hari pertama MOS tahun lalu sudah dapat tempat sendiri di
mata kakak kelas cewek karena senyumnya yang cute dan sorot matanya yang membuat jantung berdebar, malah memilih
ekskul paskib dari pada ekskul yang katanya kece, semacam baseball atau hockey?
Dan
keputusannya memilih paskib pun sempat jadi hot news di kalangan kakak kelas.
“Hah,
demi apa Nathan milih pakib?!”
“Gila
emang dia, padahal udah gue deketin biar gabung hockey aja,”
“Eh
sayang banget ikut paskib, bakalan gosong dia,”
Dan
masih banyak yang lainnya
Dan
kalian harus tahu, bukan Nathan namanya, kalau tanpa kejutan di setiap
perjalanan hidupnya.
Sama
seperti ketika ia dipilih untuk menjadi ketua pelaksana Upacara Peringatan Hari
Kemerdekaan, enam bulan yang lalu. Hari itu adalah hari pertama kedekatan kami.
Tanpa diduga, aku menjadi asisten pribadinya. Hm, maksudku, kapan pun Nathan
membutuhkan bantuan, ia selalu menghubungiku. Padahal di acara itu aku tidak
menjabat apa-apa. Pernah tengah malam Nathan meneleponku, membangunkanku dari
tidur lelap, hanya untuk memberi tahu bahwa dia lupa membeli sekotak madu
sachet yang akan dibagikan kepada adik-adik kami pasukan pengibar untuk upacara
17-an. Atau ketika dia tiba-tiba masuk ke kelasku dan memaksaku untuk
menemaninya meminta tanda tangan kepala sekolah di atas surat dispensasi untuk
anggota paskibra. Nathan bisa minta tolong yang lain, tapi dia lakukan itu
bersama denganku.
**
Dan
aku pun masih mengingat kejadian lima bulan lalu. Ketika ia meminta aku untuk
menemaninya dalam perjalanan panjang hidupnya. Tentunya tidak dengan cara yang
romantis a la film drama di bioskop,
tapi caranya meminta tentu saja akan aku ingat sepanjang hidupku.
“Kiy,
besok temenin gue ke Bu Tari yaa,”
“Mau
ngapain?” aku yang sedang mengemasi barang di kelas terkejut ketika tiba-tiba
Nathan ada di hadapanku.
“Nyerahin
undangan lomba, minta surat izin juga,” balasnya santai.
“Sekarang
aja deh, besok abis pulang sekolah gue ada kerja kelompok,” akupun masih sibuk
memasukan beberapa buku catatan ke dalam tas, dan sedikit mengacuhkan Nathan.
“Yaudah
deh, yuk. Eh, bentar,”
“Apa
lagi?” aku yang sudah bersiap untuk meninggalkan kelas, memfokuskan pandanganku
ke laki-laki jangkung itu.
“Lo
tau nggak nama lain siluman?” tanyanya tiba-tiba.
“Nath..
apa sihhh,”
“Jawab
aja Kiyara Larasati,” matanya menyorot dalam ke kedua mataku.
“Hmm..
apa ya? Makhluk apa sih?”
“Ayoo
jawab. Katanya pinter?”
“Jadi
jadian?” jawabku asal-asalan.
“Hah?
Yaudah deh kalo kamu maksa…”
“Hah?
Apaan? Ihhh jadi lo ngerjain gue?!” mataku terbelalak begitu sadar bahwa aku
menjadi korban trolling-nya Nathan.
“Hehehe,
yaudah kan udah jadian, jangan ngambeklah.” jawabnya menggoda.
“Benci
ah gue sama lo!”
“Hahaha,
pasti lo tengsin karena ngajak gue jadian duluan kan? Yaudah deh, gue aja yang
nembak. Kiy, jadian yuk..” iya, Nathan ngomong sesantai itu.
“Nath…”
aku mencoba untuk setenang mungkin.
“Serius,
Kiy. Mau nggak?” tanyanya dengan nada rendah
“Udah
ah, ayok ke Bu Tari sebelum gue berubah pikiran,” akupun mencoba mengalikan
pembicaraan, aku sedikit tidak nyaman dengan permintaannya barusan, entahlah.
“Yah,
jadi gue digantung nih?”
“Nathan,
udah dong,”
“Kiy,
gue sayang kali sama lo. Masa sayang gue ngga berbalas sih?” suarnya mengecil,
dan terdengar sedikit memaksa.
“Yaudah
kalo maksa” jawabku pada ahirnya.
“Hahaha,
dasar, pake malu-malu. Mulai sekarang lo bakalan jadi saksi perjalanan hidup
gue, Kiy.”
Dan
sejak saat itu hidup gue berubah. Hidup gue jauh lebih baik. Karena Nathan.
**
“Nath,
gimana nih? Jadinya ngambil lomba di Smada apa Pusaka?” Gerry si pengibar
kembali mengingatkan Nathan kepada lomba itu.
“Ah
iya, gue baru inget. Kayanya lomba di Smada aja deh. Lebih bergengsi,” jawabnya
singkat.
“Yaudah,
mulai besok aja latihan,” Gerry mengusulkan
“Eh
jangan, lusa aja. Besok setelah pulang sekolah mau ada penanaman bunga di
lapangan depan. Pasti anak-anak nggak boleh ada kegiatan apa-apa,” usulku
“Oh
yaudah kalo gitu. Yaudah deh, gue duluan yak. Jangan berduaan aja lo, ati-ati,”
pamit Gerry
“Untung
lo ingetin Ger, hahaha” canda Nathan
“Sialan
lo Nath,” aku pun menoyor lengannya pelan
“Apa
sih, Tuan Putri. Eh laper nggak? Kantin yuk,”
“Yuk..”
Nathan
memesan makanan kantin favoritnya, ketoprak super pedas tanpa tauge dan ekstra
tahu. Hanya ini satu-satunya makanan kantin yang ia suka. Kata Nathan, ketoprak
ini adalah ketoprak terenak yang pernah ia makan. Aku hanya memesan kapucino
cincau kantin yang legendaris. Rasanya enak banget, dan beda dari kapucino
cincau lainnya.
“Kiy,
inget ngga waktu itu gue pernah ngomong kalau gue sakit?”
“Inget,
kenapa?”
“Lo
nggak tanya gitu gue sakit apa?”
“Bukannya
lo sendiri yang bilang, kalau lo nggak mau tau tentang penyakit lo? Gue bukan
nggak peduli, Nath, gue cuma nggak mau lo mikir kalau lo sakit. Cuma itu,”
Nathan
tidak melanjutkan percakapan itu. Ia sibuk mengunyah makanannya. Sampai
akhirnya,
“Gue
sayang sama lo Kiy. Banget.”
“Gue
tau, Nath. Dan gue yakin lo juga tau gimana perasaan gue ke lo,” balasku
singkat.
“Mau
janji nggak ke gue?”
“Janji
apa?”
“Janji
bakalan tetep ada buat gue, meskipun gue nggak lagi sama. Mau ya Kiy……” suranya
melemah sampai tiba-tiba Nathan tersungkur di hadapanku. Tubuhnya kejang dan
terasa dingin.
“Nath,”
sedetik aku seperti kehilangan akal.
“Nath,
kamu kenapaaa?!”
Aku
sama sekali nggak tahu harus melakukan apa. Aku segera keluar kantin, berharap
masih ada orang yang tersisa di sekolah ini.
“Pak,
tolong teman saya, Pak. Di kantin,” hanya itu yang bisa aku ucapkan ketika
melihat penjaga sekolah di depan koridor kelas.
“Kenapa,
Mbak temannya?” pertanyaannya terdengar sama paniknya denganku.
“Saya
ngga tahu, tiba-tiba kejang, Pak. Ayok cepetan, Pak,” perintahku.
Aku
berlari dengan segenap tenagaku. Mencoba melawan perasaan khawatir yang
mencambuk di dadaku. Mencoba menahan air mata ini agar tak keluar. Aku yakin
Nathan baik-baik aja.
Nathan.
Kembali
kulihat tubuh itu. Tubuh laki-laki yang kusayang. Ia sendiri di sana, di atas
meja kantin, di depan sepiring ketopraknya yang belum habis. Tubuhnya sudah
tidak kejang sekarang. Aku hanya terpaku di sudut kantin ini. Melihat penjaga
sekolah memapah tubuhnya yang terlihat tak berdaya. Kemudian dibantu oleh penjaga
sekolah yang lain. Aku bergeming. Aku tidak mengerti apa yang sudah terjadi
barusan.
“Mbak,
tolong telepon orang tua temannya. Ini mau saya bawa ke klinik depan,”
“Iya,”
jawabku singkat
Akupun
mencari kontak Tante Ari, mamanya Nathan.
“Halo
Tante. Tante, Nathan…” belum sempat aku melanjutkan, Tante Ari sudah memotong.
“Kiya..
di sekolah?”
“Iya
tante. Nathan Tante, dia kejang tadi pas lagi makan sama Kiya. Terus sekarang
dibawa penjang sekolah ke klinik depan sekolah,”
“Kiy..
iya tante ke sana sekarang,”
**
Sekali
lagi ku lihat sosok Nathan tak berdaya. Ia terlihat sangat berbeda dengan
Nathan yang kulihat biasanya. Nathan itu kuat, ia tangguh. Ia bisa dengan mudah
menyelesaikan hitungan push-up ke lima puluhnya tanpa napas yang tersenggal.
Atau ketika harus berlatih suara karena ia seorang komandan pasukan. Nathan
kuat, dan aku tahu itu.
Tapi
kali ini kulihat dia dengan kondisi berbeda. Tubuhnya terbaring di atas ranjang
klinik. Kulihat selang oksigen terpasang di hidungnya. Di sisinya tergantung
kantung infuse yang tersambung di
tangan kanannya. Matanya tertutup dan dadanya naik turun mengikuti napasnya.
Sekali lagi, ingin rasanya kutarik ia ke dalam dekapanku. Memastikan bahwa ia
baik-baik saja, bahwa segalanya akan baik-baik saja.
“Kiyaa..”
suara yang begitu familiar membuyarkan fokusku terhadap Nathan. Tante Ari!
“Tante,”
akupun menyalami tangannya. Terasa dingin.
“Nathan
di dalam tante,” sambungku sambil menunjuk sebuah ruangan tepat di belakangku.
“Nathan..”
Tante Ari hanya menyambut pasrah. Di wajahnya jelas terpampang kesedihan.
“Tante,
kalo Kiya boleh tahu, Nathan kenapa?” tanyaku hati-hati. Iya, aku selah
menanyakan hal itu di waktu yang tidak tepat ini. Kalian tahu? Aku mengutuk
diriku sendiri pada akhirnya.
“Suatu
penyakit yang sulit untuk dijelaskan, Kiy,” balasnya singkat, sembari
menampakkan seulas senyum.
Aku
bergeming. Hanya mampu kutatap wajah ibu dari sesosok laki-laki yang kusayang
ini dalam-dalam.
**
Empat belas hari
yang lalu
Hari dimana kau
mundur dari kehidupanku
Memilih jalan
lain
Tanpa berpamit
terlebih dahulu
Empat belas hari
yang lalu
Hari dimana aku
mengutuk diriku
Seumur hidup
Karena tak bisa
menjagamu
“Nathan
udah nggak ada,” hanya itu yang keluar dari mulutku ketika Gerry bertanya.
Di
klinik ini sudah berdatangan teman-teman kami –aku dan Nathan. Teman-teman yang
menemani perjalanan kami sebagai seorang junior hingga senior di paskibra ini.
mereka juga yang menjadi saksi hubunganku dan Nathan, dan sekarang mereka
menjadi saksi kepergian Nathan dari hidupku.
“Kiy..”
Sheila—teman satu ekskulku mendekat, dia memeluk tubuhku pelan. Aku bisa
mencium aroma woody dan sejumput
aroma rempah dari parfumnya, wanginya damai dan menghangatkan, tapi entah
mengapa aku merasa hampa dan dingin di sini.
Aku
diam di pelukannya, larut dalam bayangan Nathan yang tiba-tiba terlintas. Perlahan
air mata itu jatuh juga. Air mata pertamaku yang disebabkan oleh Nathan. Aku
tak menyangka, Nathan membuatku menangis sekarang. Padahal, ia pernah berjanji
untuk tidak akan membuat air mataku menetes untuknya, tapi ia lupa, perpisahan
akan selalu menumbuhkan luka dan tentu saja air mata.
Bayangan
Nathan yang untuk pertama kalinya mengamit tanganku. Terjadi begitu saja. Tidak,
kami nggak sedang berkencan fancy
waktu itu, tapi kami ingin menyebrang jalanan yang cukup ramai, ia segera mengamit
tanganku dan menuntun ke sebrang. Memastikan aku baik-baik saja di sampingnya.
Bayangan
Nathan yang untuk pertama kalinya menjemputku di rumah. Ia datang dengan hoody merah hati dan jeans belelnya.
Rambutnya sedikit berantakan karena helmnya. Ia langsung tersenyum lebar ketika
melihatku. Dan untuk pertama kalinya pula, ia mengatakan bahwa aku cantik.
Nathan..
Nathan..
Bayangan
Nathan ketika sedang serius latihan suara di lapangan sekolah. Suaranya tegas
dan lantang. Keringat meluncur di keningnya, namun tak menghentikan semangatnya
berlatih. Ia masih mampu menyelesaikan hitungan push-up ke delapan puluh
limanya tanpa kesulitan.
Bayangan
Nathan ketika memimpin rapat bulanan bulan lalu. Sebagai ketua, ia tak pandang
bulu. Meskipun aku pacarnya, tetapi ketika aku melakukan kesalahan, ia tetap
menegurku dengan tegas.
Nathan..
Nathan..
Aku
bahkan belum sempat berjanji untuknya. Tapi, seharusnya ia tahu, aku akan
dengan senang hati ada untuknya, tanpa perlu ia minta.
**
Empat
belas hari yang lalu, Nathan pergi dan tak akan kembali. Semuanya tak lagi
sama. Semuanya berlalu dengan sangat cepat. Akupun tidak mengerti kenapa Nathan
menyembungikan semuanya dari diriku? Pacaran bukan hanya tentang berbagi coklat
dan tawa, kan? Aku akan dengan senang hati mendengar cerita tentang
penyakitnya, dan tentu akan mendampinginya. Namun, ketika pengumuman tentang
penyakitnya itu menjadi bahan obrolan terakhir kami… rasanya aku tak rela.
Empat
belas hari yang lalu, hari di mana hidupku tak lagi sama. Tak ada lagi Nathan
yang menemani.
**
Jakarta, 23 August 2015 – 4:40 PM
-Dinda-