29/10/15

neunundzwanzig


Hallo, happy 29!

((sebelumnya mau bilang, maafkan grammar atau apalah itu yang berantakan di tulisan ini. heuu))


We just passed our two months of this relationship. I know, our journey is not easy as everyone else. Sometimes, I just didn’t know how to be a good girl for you. But you must know that I’m very grateful to have you in my life. Hehehe, sounds cheesy, rite? But that is the real. I can not to say that in real life, but I just want to you know my feeling. Thank you to gave me the feeling of fallin in love. Thank you for you who will be there anytime I need. Thank you for be a good boy for me. I’m happy. I did not know how is your feeling of having me, I’m just hoping that you have the same feeling, like me.



**

Sampai ketemu di tanggal 29 yang selanjutnya!





p.s iya, aku ngga ngembek-ngambek lagi deh :p




*

Jakarta, 29 Oktober 2015 – 10.00 AM

dinda

26/10/15

Memeluk Waktu


Erat kupeluk waktu
Karena kupikir, semakin erat kupeluk maka waktu tak akan beranjak
Kutambah erat pelukanku, hingga terasa sesak dada ini
Tapi akhirnya kumenyadari
Bahwa bukan eratnya pelukan yang membuat dada ini sesak
Tapi kenyataan bahwa waktu akan terus berjalan
Tak peduli seberapa erat pelukanku kepadanya



Jakarta, 26 Oktober 2015 -- 08.00 PM
dinda

14/10/15

Empat Belas Hari yang Lalu [Cerpen]





Empat belas hari yang lalu
Hari dimana kau menginginkanku berjanji
Untuk tetap tinggal
Meskipun kau mungkin tak lagi sama

Empat belas hari yang lalu
Hari dimana kau jujur kepadaku
Bahwa ada yang salah di tubuhmu
Dan aku tak akan mengerti kenapa

Empat belas hari yang lalu
Hari dimana kau sendiri yang akhirnya pergi
Pergi dan tak akan kembali
Hari dimana kau benar-benar terlihat jauh

Empat belas hari yang lalu
Hari yang tak akan pernah aku lupa

**

            ”Kiy… kamu tau nggak kenapa bintang itu jauh banget?” cowok manis yang duduk di sampingku ini bertanya lembut kepadaku, bibirnya menampakkan senyum tipis.
            “Hmm? Mau aku jawab serius atau nggak nih?” tanyaku pada akhirnya.
            “Ah, susah emang punya pacar anak perpus, serius banget!” balasnya sambil mencubit pelan lenganku.
            “Hahaha… ngambek mulu ah. Aku nggak tau, Nathan, emang kenapa sih?”
            “Soalnya mereka minder sama kamu. Hehehe plis jangan bilang aku garing lagi,” guraunya.
            “Hahaha… kamu tau aja aku mau ngomong apa!” tawaku meledak.
            Iya, aku memang selalu bilang kalau Nathan tuh selalu garing setiap bikin gombalan. Bukan, bukannya aku nggak menghargai usaha dia itu, tapi aku selalu ingin dia jadi dirinya sendiri. Dan gombalan-gombalan kayak gitu tuh bukan Nathan banget. Justru sifat apa adanya dia yang bikin aku jatuh hati kepadanya. Lihat? Nggak semua cewek ‘butuh’ gombalan, kan?
            “Kiy,”
            “Hmm?”
            “Kita bakalan kaya gini terus kan?” tanyanya pelan.
            “Kaya gini gimana?” aku menoleh kepadanya, ia sedang melihat ke depan, tatapannya kosong.
            “Kaya gini… ada kamu dan aku. Ada kita.” Suaranya pelan, terdengar seperti bisikan.
            “Kamu ngomong apa sih? Jangan ngomong yang aneh-aneh deh,” Aku merasa tak nyaman dengan pembicaraan ini.
            “Kiy… aku sayang kamu,” suaranya kali ini lebih tegas, namun tetap seperti bisikan
            “Nath..” aku menoleh lagi, memastikan ia tetap di sampingku dan baik-baik saja
            “Aku sakit, Kiy.” Ia menoleh kepadaku. Ekspresinya tenang, tapi aku bisa melihat ada yang salah di sorot matanya.
            Aku.. aku hanya bisa diam. Entah tanggapan apa yang harus aku berikan kepadanya. Aku hanya menatap jauh ke dalam bola matanya, mencari tau apa yang terjadi kepada laki-laki di hadapanku ini.
            “Aku juga nggak ngerti aku sakit apa. Dan aku juga nggak mau tahu, karena aku yakin kalau aku tahu apa sakitku itu, itu cuma bikin aku tambah sakit,”
            Aku bergeming. Nathan terlihat lemah sekali kali ini, baru kali ini. Ia selalu terlihat gagah di mataku. Ingin rasanya menarik tubuhnya ke dalam dekapanku, memastikan bahwa ia baik-baik saja, tapi tangan ini terasa berat.
            “Yaudah, pulang yuk. Udah sore nih..” ajaknya akhirnya
            Dan aku hanya mengangguk pelan, kemudian mengekornya menuju parkiran sekolah kami.

**
            “Nath, ada lomba nih bulan depan di Smada. Ikut yuk, biar adek-adek kita ada pengalaman juga,”
            Nathan menoleh sekilas, lalu kembali menatap lembaran kertas di tangannya, “Bentar ya, gue lagi baca undangan lomba di SMA Pusaka nih,” jawabnya santai.
            Nathan Pratama. Pemilik wajah teduh dengan lesung pipi di pipi kanannya. Tingginya 178 cm, dengan berat yang ideal. Tubuhnya tegap dan rambut dengan potongan rapih, khas anak paskib. Dia menjabat sebagai ketua umum Paskibra SMA Permata. Siapa sangka cowok yang di hari pertama MOS tahun lalu sudah dapat tempat sendiri di mata kakak kelas cewek karena senyumnya yang cute dan sorot matanya yang membuat jantung berdebar, malah memilih ekskul paskib dari pada ekskul yang katanya kece, semacam baseball atau hockey?
            Dan keputusannya memilih paskib pun sempat jadi hot news di kalangan kakak kelas.
            “Hah, demi apa Nathan milih pakib?!”
            “Gila emang dia, padahal udah gue deketin biar gabung hockey aja,”
            “Eh sayang banget ikut paskib, bakalan gosong dia,”
            Dan masih banyak yang lainnya
            Dan kalian harus tahu, bukan Nathan namanya, kalau tanpa kejutan di setiap perjalanan hidupnya.
            Sama seperti ketika ia dipilih untuk menjadi ketua pelaksana Upacara Peringatan Hari Kemerdekaan, enam bulan yang lalu. Hari itu adalah hari pertama kedekatan kami. Tanpa diduga, aku menjadi asisten pribadinya. Hm, maksudku, kapan pun Nathan membutuhkan bantuan, ia selalu menghubungiku. Padahal di acara itu aku tidak menjabat apa-apa. Pernah tengah malam Nathan meneleponku, membangunkanku dari tidur lelap, hanya untuk memberi tahu bahwa dia lupa membeli sekotak madu sachet yang akan dibagikan kepada adik-adik kami pasukan pengibar untuk upacara 17-an. Atau ketika dia tiba-tiba masuk ke kelasku dan memaksaku untuk menemaninya meminta tanda tangan kepala sekolah di atas surat dispensasi untuk anggota paskibra. Nathan bisa minta tolong yang lain, tapi dia lakukan itu bersama denganku.

**
            Dan aku pun masih mengingat kejadian lima bulan lalu. Ketika ia meminta aku untuk menemaninya dalam perjalanan panjang hidupnya. Tentunya tidak dengan cara yang romantis a la film drama di bioskop, tapi caranya meminta tentu saja akan aku ingat sepanjang hidupku.
            “Kiy, besok temenin gue ke Bu Tari yaa,”
            “Mau ngapain?” aku yang sedang mengemasi barang di kelas terkejut ketika tiba-tiba Nathan ada di hadapanku.
            “Nyerahin undangan lomba, minta surat izin juga,” balasnya santai.
            “Sekarang aja deh, besok abis pulang sekolah gue ada kerja kelompok,” akupun masih sibuk memasukan beberapa buku catatan ke dalam tas, dan sedikit mengacuhkan Nathan.
            “Yaudah deh, yuk. Eh, bentar,”
            “Apa lagi?” aku yang sudah bersiap untuk meninggalkan kelas, memfokuskan pandanganku ke laki-laki jangkung itu.
            “Lo tau nggak nama lain siluman?” tanyanya tiba-tiba.
            “Nath.. apa sihhh,”
            “Jawab aja Kiyara Larasati,” matanya menyorot dalam ke kedua mataku.
            “Hmm.. apa ya? Makhluk apa sih?”
            “Ayoo jawab. Katanya pinter?”
            “Jadi jadian?” jawabku asal-asalan.
            “Hah? Yaudah deh kalo kamu maksa…”
            “Hah? Apaan? Ihhh jadi lo ngerjain gue?!” mataku terbelalak begitu sadar bahwa aku menjadi korban trolling-nya Nathan.
            “Hehehe, yaudah kan udah jadian, jangan ngambeklah.” jawabnya menggoda.
            “Benci ah gue sama lo!”
            “Hahaha, pasti lo tengsin karena ngajak gue jadian duluan kan? Yaudah deh, gue aja yang nembak. Kiy, jadian yuk..” iya, Nathan ngomong sesantai itu.
            “Nath…” aku mencoba untuk setenang mungkin.
            “Serius, Kiy. Mau nggak?” tanyanya dengan nada rendah
            “Udah ah, ayok ke Bu Tari sebelum gue berubah pikiran,” akupun mencoba mengalikan pembicaraan, aku sedikit tidak nyaman dengan permintaannya barusan, entahlah.
            “Yah, jadi gue digantung nih?”
            “Nathan, udah dong,”
            “Kiy, gue sayang kali sama lo. Masa sayang gue ngga berbalas sih?” suarnya mengecil, dan terdengar sedikit memaksa.
            “Yaudah kalo maksa” jawabku pada ahirnya.
            “Hahaha, dasar, pake malu-malu. Mulai sekarang lo bakalan jadi saksi perjalanan hidup gue, Kiy.”
            Dan sejak saat itu hidup gue berubah. Hidup gue jauh lebih baik. Karena Nathan.

**
            “Nath, gimana nih? Jadinya ngambil lomba di Smada apa Pusaka?” Gerry si pengibar kembali mengingatkan Nathan kepada lomba itu.
            “Ah iya, gue baru inget. Kayanya lomba di Smada aja deh. Lebih bergengsi,” jawabnya singkat.
            “Yaudah, mulai besok aja latihan,” Gerry mengusulkan
            “Eh jangan, lusa aja. Besok setelah pulang sekolah mau ada penanaman bunga di lapangan depan. Pasti anak-anak nggak boleh ada kegiatan apa-apa,” usulku
            “Oh yaudah kalo gitu. Yaudah deh, gue duluan yak. Jangan berduaan aja lo, ati-ati,” pamit Gerry
            “Untung lo ingetin Ger, hahaha” canda Nathan
            “Sialan lo Nath,” aku pun menoyor lengannya pelan
            “Apa sih, Tuan Putri. Eh laper nggak? Kantin yuk,”
            “Yuk..”
            Nathan memesan makanan kantin favoritnya, ketoprak super pedas tanpa tauge dan ekstra tahu. Hanya ini satu-satunya makanan kantin yang ia suka. Kata Nathan, ketoprak ini adalah ketoprak terenak yang pernah ia makan. Aku hanya memesan kapucino cincau kantin yang legendaris. Rasanya enak banget, dan beda dari kapucino cincau lainnya.
            “Kiy, inget ngga waktu itu gue pernah ngomong kalau gue sakit?”
            “Inget, kenapa?”
            “Lo nggak tanya gitu gue sakit apa?”
            “Bukannya lo sendiri yang bilang, kalau lo nggak mau tau tentang penyakit lo? Gue bukan nggak peduli, Nath, gue cuma nggak mau lo mikir kalau lo sakit. Cuma itu,”
            Nathan tidak melanjutkan percakapan itu. Ia sibuk mengunyah makanannya. Sampai akhirnya,
            “Gue sayang sama lo Kiy. Banget.”
            “Gue tau, Nath. Dan gue yakin lo juga tau gimana perasaan gue ke lo,” balasku singkat.
            “Mau janji nggak ke gue?”
            “Janji apa?”
            “Janji bakalan tetep ada buat gue, meskipun gue nggak lagi sama. Mau ya Kiy……” suranya melemah sampai tiba-tiba Nathan tersungkur di hadapanku. Tubuhnya kejang dan terasa dingin.
            “Nath,” sedetik aku seperti kehilangan akal.
            “Nath, kamu kenapaaa?!”
            Aku sama sekali nggak tahu harus melakukan apa. Aku segera keluar kantin, berharap masih ada orang yang tersisa di sekolah ini.
            “Pak, tolong teman saya, Pak. Di kantin,” hanya itu yang bisa aku ucapkan ketika melihat penjaga sekolah di depan koridor kelas.
            “Kenapa, Mbak temannya?” pertanyaannya terdengar sama paniknya denganku.
            “Saya ngga tahu, tiba-tiba kejang, Pak. Ayok cepetan, Pak,” perintahku.
            Aku berlari dengan segenap tenagaku. Mencoba melawan perasaan khawatir yang mencambuk di dadaku. Mencoba menahan air mata ini agar tak keluar. Aku yakin Nathan baik-baik aja.
            Nathan.
            Kembali kulihat tubuh itu. Tubuh laki-laki yang kusayang. Ia sendiri di sana, di atas meja kantin, di depan sepiring ketopraknya yang belum habis. Tubuhnya sudah tidak kejang sekarang. Aku hanya terpaku di sudut kantin ini. Melihat penjaga sekolah memapah tubuhnya yang terlihat tak berdaya. Kemudian dibantu oleh penjaga sekolah yang lain. Aku bergeming. Aku tidak mengerti apa yang sudah terjadi barusan.
            “Mbak, tolong telepon orang tua temannya. Ini mau saya bawa ke klinik depan,”
            “Iya,” jawabku singkat
            Akupun mencari kontak Tante Ari, mamanya Nathan.
            “Halo Tante. Tante, Nathan…” belum sempat aku melanjutkan, Tante Ari sudah memotong.
            “Kiya.. di sekolah?”
            “Iya tante. Nathan Tante, dia kejang tadi pas lagi makan sama Kiya. Terus sekarang dibawa penjang sekolah ke klinik depan sekolah,”
            “Kiy.. iya tante ke sana sekarang,”

**
            Sekali lagi ku lihat sosok Nathan tak berdaya. Ia terlihat sangat berbeda dengan Nathan yang kulihat biasanya. Nathan itu kuat, ia tangguh. Ia bisa dengan mudah menyelesaikan hitungan push-up ke lima puluhnya tanpa napas yang tersenggal. Atau ketika harus berlatih suara karena ia seorang komandan pasukan. Nathan kuat, dan aku tahu itu.
            Tapi kali ini kulihat dia dengan kondisi berbeda. Tubuhnya terbaring di atas ranjang klinik. Kulihat selang oksigen terpasang di hidungnya. Di sisinya tergantung kantung infuse yang tersambung di tangan kanannya. Matanya tertutup dan dadanya naik turun mengikuti napasnya. Sekali lagi, ingin rasanya kutarik ia ke dalam dekapanku. Memastikan bahwa ia baik-baik saja, bahwa segalanya akan baik-baik saja.
            “Kiyaa..” suara yang begitu familiar membuyarkan fokusku terhadap Nathan. Tante Ari!
            “Tante,” akupun menyalami tangannya. Terasa dingin.
            “Nathan di dalam tante,” sambungku sambil menunjuk sebuah ruangan tepat di belakangku.
            “Nathan..” Tante Ari hanya menyambut pasrah. Di wajahnya jelas terpampang kesedihan.
            “Tante, kalo Kiya boleh tahu, Nathan kenapa?” tanyaku hati-hati. Iya, aku selah menanyakan hal itu di waktu yang tidak tepat ini. Kalian tahu? Aku mengutuk diriku sendiri pada akhirnya.
            “Suatu penyakit yang sulit untuk dijelaskan, Kiy,” balasnya singkat, sembari menampakkan seulas senyum.
            Aku bergeming. Hanya mampu kutatap wajah ibu dari sesosok laki-laki yang kusayang ini dalam-dalam. 

**
Empat belas hari yang lalu
Hari dimana kau mundur dari kehidupanku
Memilih jalan lain
Tanpa berpamit terlebih dahulu

Empat belas hari yang lalu
Hari dimana aku mengutuk diriku
Seumur hidup
Karena tak bisa menjagamu

            “Nathan udah nggak ada,” hanya itu yang keluar dari mulutku ketika Gerry bertanya.
            Di klinik ini sudah berdatangan teman-teman kami –aku dan Nathan. Teman-teman yang menemani perjalanan kami sebagai seorang junior hingga senior di paskibra ini. mereka juga yang menjadi saksi hubunganku dan Nathan, dan sekarang mereka menjadi saksi kepergian Nathan dari hidupku.
            “Kiy..” Sheila—teman satu ekskulku mendekat, dia memeluk tubuhku pelan. Aku bisa mencium aroma woody dan sejumput aroma rempah dari parfumnya, wanginya damai dan menghangatkan, tapi entah mengapa aku merasa hampa dan dingin di sini.
            Aku diam di pelukannya, larut dalam bayangan Nathan yang tiba-tiba terlintas. Perlahan air mata itu jatuh juga. Air mata pertamaku yang disebabkan oleh Nathan. Aku tak menyangka, Nathan membuatku menangis sekarang. Padahal, ia pernah berjanji untuk tidak akan membuat air mataku menetes untuknya, tapi ia lupa, perpisahan akan selalu menumbuhkan luka dan tentu saja air mata.
            Bayangan Nathan yang untuk pertama kalinya mengamit tanganku. Terjadi begitu saja. Tidak, kami nggak sedang berkencan fancy waktu itu, tapi kami ingin menyebrang jalanan yang cukup ramai, ia segera mengamit tanganku dan menuntun ke sebrang. Memastikan aku baik-baik saja di sampingnya.
            Bayangan Nathan yang untuk pertama kalinya menjemputku di rumah. Ia datang dengan hoody merah hati dan jeans belelnya. Rambutnya sedikit berantakan karena helmnya. Ia langsung tersenyum lebar ketika melihatku. Dan untuk pertama kalinya pula, ia mengatakan bahwa aku cantik.
            Nathan.. Nathan..
            Bayangan Nathan ketika sedang serius latihan suara di lapangan sekolah. Suaranya tegas dan lantang. Keringat meluncur di keningnya, namun tak menghentikan semangatnya berlatih. Ia masih mampu menyelesaikan hitungan push-up ke delapan puluh limanya tanpa kesulitan.
            Bayangan Nathan ketika memimpin rapat bulanan bulan lalu. Sebagai ketua, ia tak pandang bulu. Meskipun aku pacarnya, tetapi ketika aku melakukan kesalahan, ia tetap menegurku dengan tegas.
            Nathan.. Nathan..
            Aku bahkan belum sempat berjanji untuknya. Tapi, seharusnya ia tahu, aku akan dengan senang hati ada untuknya, tanpa perlu ia minta.

**
            Empat belas hari yang lalu, Nathan pergi dan tak akan kembali. Semuanya tak lagi sama. Semuanya berlalu dengan sangat cepat. Akupun tidak mengerti kenapa Nathan menyembungikan semuanya dari diriku? Pacaran bukan hanya tentang berbagi coklat dan tawa, kan? Aku akan dengan senang hati mendengar cerita tentang penyakitnya, dan tentu akan mendampinginya. Namun, ketika pengumuman tentang penyakitnya itu menjadi bahan obrolan terakhir kami… rasanya aku tak rela.
            Empat belas hari yang lalu, hari di mana hidupku tak lagi sama. Tak ada lagi Nathan yang menemani.

**
 

Jakarta, 23 August 2015 – 4:40 PM
-Dinda-
COPYRIGHT © 2017 | THEME BY RUMAH ES