11/07/15
Tiga Puluh Empat Bulan Lebih Dua Hari yang Lalu
Tiga puluh empat bulan lebih dua hari yang lalu.
Rasanya baru kemarin kamu dan aku tergabung dalam sebuah grup di salah satu aplikasi messenger. We called you as a chieftain. Menghabiskan malam bersama untuk membicarakan banyak hal. Dari tentang idola kita yang sedang manggung, model pakaian idola kita yang terlihat aneh, berdebat tentang makanan apa yang paling enak, pertanyaan basa-basi seperti ‘lagi apa?’, dan banyak obrolan random yang lain.
Sampai pada suatu hari, kamu mengirimkan pesan itu kepadaku. Isinya singkat, hanya tiga kata. “Kamu lagi apa?”, kuketikan jawaban secepat kilat. “Lagi baca buku, Kak,”. Dan berlanjutlah percakapan panjang kita. Dimulai dari tiga kata darimu.
Pagi-pagiku terasa berbeda, ada sapaan pagimu yang menemani.
Siang-siangku terasa berbeda, ada pertanyaan sederhana darimu yang menemani, “Gimana sekolahnya?”.
Malam-malamku terasa berbeda, ada kamu yang menemaniku hingga larut.
Hariku berbeda sejak saat itu. Hariku berbeda sejak kamu mengetuk, dan aku mengizinkan kamu masuk ke kehidupanku. Hariku berbeda karena kamu. Iya, kamu.
Rasanya baru kemarin kamu meminta aku untuk di sini. Menemani perjalanan panjangmu dalam menempuh kehidupan di tempat yang baru. Aku senang, menjadi salah satu orang yang menyaksikan sejarah hidupmu. Jarak rasanya bukan halangan. Aku di sini, dan kamu, ada di puluhan kilometer di sana.
Tiga puluh empat bulan lebih dua hari yang lalu.
Aku masih ingat ketika kamu memintaku untuk mengganti panggilan itu. “Panggil nama aja,” itu katamu. Aku menolak, dengan alasan klise, kamu lebih tua dariku.
Aku juga masih ingat, ketika hari itu tiba. Hari dimana aku sangat menyesal membalas keberanianmu dengan pertanyaan bodoh itu. Aku menyesal. Bahkan setelah hari-hari itu berlalu, dan hati ini tak lagi sama, aku masih menyesal.
Hingga akhirnya kamu memilih mundur dan pamit dari kehidupanku, dan akupun tak memintamu untuk tetap tinggal, aku malah menutup lagi pintu kehidupanku. Percayalah, kamu salah satu orang yang pernah mengisi hari-hariku dan kita pernah tertawa bersama, bagaimana bisa aku menghapus jejakmu dari pikiranku?
Aku sudah move on. Tapi, apa kamu tau? Move on bukan berarti melupakan. Move on berarti menerima atas segala hal yang sudah terjadi.
Tiga puluh epat bulan lebih dua hari yang lalu.
Terima kasih untukmu. Terima kasih karena sudah menemani hari-hariku. Terima kasih karena sudah memberika rasa itu. Terima kasih karena sudah memberikanku pelajaran berharga itu, bahwa hidup tak selamanya tentang apa yang kita dapat, namun juga tentang apa yang kita lepas. Terima kasih untukmu.
Tiga puluh empat bulan lebih dua hari yang lalu.
Hari dimana aku merasa terbang setinggi langit, dan memandang dunia jadi jauh lebih kecil di bawah sana. Karena kamu.
**
Jakarta, 11 Juli 2015 – 5:33 PM
Dinda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih untuk komentarnya :)